1) Bukti-Bukti Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya dalam sejarah
Indonesia disebut sebagai kerajaan maritim terbesar yang menguasai jalur
dagang di Laut Cina Selatan dan Selat Malaka. Kerajaan ini telah mampu
memanfaatkan posisi strategisnya dalam lalu lintas perdagangan antara
Cina dan India.
Pengetahuan kita mengenai sejarah kerajaan Sriwijaya
diperoleh dari sumber-sumber asing dan dalam negeri. Sumber dalam negeri
berupa prasasti-prasasti yang pada umumnya ditemukan di Palembang
kecuali prasasti Kota Kapur dan prasasti Karang Brahi yang ditemukan di
Bangka dan Jambi: Adapun ketujuh buah prasasti tersebut adalah
1. Prasasti Kedukan Bukit (683 M),
2. Prasasti Talang Tuo (684 M),
3. Prasasti Kota Kapur (686 M),
4. Prasasti-prasasti Siddhayatra (tidak berangka tahun),
5. Prasasti Telaga Batu (683 M), dan
6. Prasasti Karang Brahi (686) di Jambi.
Adapun
sumber-sumber asing tentang kerajaan Sriwijaya diperoleh dari Cina,
India (antara lain Prasasti Nalanda dan Cola), Sri Lanka, Arab, dan
Parsi, serta Prasasti Ligor, di Tanah Genting Kra, Malaysia yang
berangka tahun 775 M.
2) Sistem Kepercayaan
Berbeda dengan
kerajaan Kutei dan Tarumanagara yang bercorak Hindu, kerajaan Sriwijaya
bercorak Budha dan menjadi pusat kajian agama Budha di Asia Tenggara.
Berdasarkan catatan perjalanan pendeta Budha Cina bernama I-tsing yang
datang ke wilayah Nusantara untuk kedua kalinya pada tahun 692 M,
dikatakan bahwa banyak pelajar Cina yang hendak belajar agama Budha di
India, belajar terlebih dahulu dasar-dasar agama Budha di Sriwijaya
selama satu sampai dua tahun.
Di bidang agama, Sriwijaya menjadi
pusat kajian dan pusat penyebaran agama Budha ke Asia Tenggara. Aliran
atau mazhab agama Budha yang berkembang di kerajaan Sriwijaya adalah
Mahayana, suatu aliran yang lebih moderat dibandingkan dengan aliran
Hinayana.
Hal tersebut mudah dimengerti sebab para pendeta Budha yang
berasal dari Cina juga menganut aliran yang sama. Mereka banyak belajar
ajaran agama Budha di Sriwijaya bersama-sama dengan orang-orang dari
India yang hendak menyebarkan agama Budha di daerah-daerah yang
disinggahinya. Di kerajaan ini, mereka secara terbuka menerima orang
asing dan belajar dari orang asing, India, dan Cina.
3) Perkembangan Bahasa
Pada
zaman keemasannya, kota Palembang menjadi pusat peziarah pendeta Budha
dari berbagai bangsa. Kemungkinan, bahasa Malayu telah menjadi bahasa
pengantar dalam sistem pendidikan Sriwijaya. Berdasarkan beberapa
prasasti yang ditemukan di Palembang, seperti yang terungkap. di atas
bahasa yang digunakan dalam prasasti¬prasasti tersebut bukan bahasa
Sanskerta melainkan bahasa Malayu kuno dan berhuruf Pallawa.
Dengan
demikian, kerajaan ini telah mengembangkan bahasa sendiri tanpa
menggunakan bahasa asing. Kemungkinan bahasa tersebut telah digunakan
dalam transaksi antarpedagang, terutama pedagang-pedagang yang berasal
dari daerah-daerah taklukkan Sriwijaya ketika itu, seperti Jawa Barat,
Bangka, Jambi, dan Semenanjung Malaysia.
4) Mata Pencaharian Penduduk
Penduduk
kerajaan Sriwijaya yang pada umumnya menggantungkan hidup dari hasil
tangkapan ikan dan berdagang, ternyata lebih bersikap dinamis dan
terbuka terhadap pengaruh asing. Mereka bisa berpindah dan berlayar dari
satu ke pelabuhan ke pelabuhan lain dan dari satu negara ke negara
lain, serta mereka sudah barang tentu dapat berkomunikasi dan bergaul
dengan berbagai bangsa yang menyinggahi pelabuhan-pelabuhan dagang di
Sriwijaya.
5) Bidang Kebudayaan
Meskipun menggunakan bahasa
Malayu sebagai bahasa pengantar/berkomunikasi sehari-hari, mereka juga
mengambil budaya dari India, seperti penggunaan nama-nama India, adat
istiadat, serta tradisi dalam agama Budha. Pada masa pemerintahan Raja
Balaputra Dewa, kerajaan Sriwijaya mengalami perkembangan pesat yang
ditandai dengan tumbuhnya perdagangan di perairan Sriwijaya sebagai
jalur dagang internasional.
6) Bidang Perdagangan
Raja-raja
Sriwijaya memiliki pandangan jauh mengenai pemanfaatan posisi strategis
kerajaannya di jalur dagang internasional. Untuk memajukan perdagangan,
ibukota yang semula terletak di Palembang dipindahkan ke Minanga Tamwa.
Minanga Tamwa sendiri merupakan suatu daerah pertemuan antara Sungai
Kampar Kanan dan Kampar Kiri. Daerah ini dianggap lebih strategis
dibandingkan dengan Palembang.
Pada tahun 775 M, seperti tertera
dalam Prasasti Ligor, Sriwijaya membangun ibukota baru di Semenanjung
Malaysia. Tujuannya agar pemerintah kerajaan Sriwijaya lebih mampu
mengawasi kegiatan dagang di Selat Malaka serta untuk mencegah para
pedagang memotong jalur perdagangan darat melewati Tanah Genting Kra.
Dengan demikian, semua pedagang yang berasal dari Cina atau Asia
Tenggara yang menuju Sriwijaya dan India atau sebaliknya harus melewati
Selat Malaka, yang saat itu dikuasai oleh Sriwijaya.
Kegiatan dagang
telah meningkatkan taraf kemakmuran rakyat Sriwijaya. Menurut berita
dari Cina, raja-raja Sriwijaya sangat terkenal karena kekayaannya.
Menurut sebuah legenda Cina, salah seorang raja Sriwijaya telah membuang
sebungkal emas ke kolam pada setiap mereka ulang tahunnya. Legenda ini,
walaupun diragukan kebenarannya, menunjukkan bahwa raja-raja Sriwijaya
mengalami kemakmuran karena kegiatan dagang mereka.
7) Bidang Pendidikan
Di
bidang pendidikan serta kajian ajaran Budha, kerajaan ini bukan hanya
pusat pendidikan Budha dengan mendatangkan pelajar dari luar negeri
melainkan juga mengirimkan pelajar-pelajarnya untuk belajar agama Budha
dan ilmu pengetahuan di India. Berdasarkan berita yang termuat dalam
Prasasti Nalanda (India), hubungan raja Sriwijaya, Balaputra Dewa,
dengan raja Benggala, di India yang bernama Raja Dewapaladewa, sangat
erat. Raja dari India ini menghadiahkan sebidang tanah untuk mendirikan
asrama bagi para pelajar dari Sriwijaya yang belajar di Nalanda.
Raja-raja
Sriwijaya yang terbuka terhadap pengaruh asing memiliki pandangan
positif untuk memajukan rakyatnya dengan belajar dari negara lain,
seperti India. Hasilnya adalah lahirnya beberapa pelajar terkemuka yang
menguasai ilmu pengetahuan serta bidang agama Budha. Salah seorang guru
besar Budha yang berdarah asli Sriwijaya adalah Dharmakirti yang bukan
hanya disegani di Sriwijaya melainkan juga oleh para pendeta dari Cina.
Seorang pendeta Cina bernama Atica sangat mengagumi Dharmakirti dan
menjadikannya sebagai guru agama Budha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar