Meskipun masih ada langkah-langkah dalam fotosintesis
yang belum dipahami, persamaan umum fotosintesis telah diketahui sejak tahun
1800-an.
Pada awal tahun 1600-an, seorang dokter dan ahli
kimia, Jan van Helmont, seorang Flandria (sekarang bagian dari Belgia), melakukan percobaan untuk mengetahui faktor apa
yang menyebabkan massa tumbuhan bertambah dari waktu ke waktu.
Dari penelitiannya, Helmont menyimpulkan bahwa massa
tumbuhan bertambah hanya karena pemberian air. Namun, pada tahun 1727, ahli botani Inggris, Stephen Hales berhipotesis bahwa pasti ada faktor
lain selain air yang berperan. Ia mengemukakan bahwa sebagian makanan tumbuhan
berasal dari atmosfer dan cahaya yang terlibat dalam proses tertentu. Pada saat itu belum diketahui bahwa
udara mengandung unsur gas yang berlainan.
Pada tahun 1771, Joseph Priestley, seorang ahli kimia dan pendeta
berkebangsaan Inggris, menemukan bahwa ketika ia menutupi sebuah lilin menyala dengan sebuah toples terbalik, nyalanya akan mati sebelum lilinnya habis
terbakar. Ia kemudian menemukan bila ia
meletakkan tikus dalam toples terbalik bersama
lilin, tikus itu akan mati lemas. Dari kedua percobaan itu, Priestley
menyimpulkan bahwa nyala lilin telah "merusak" udara dalam toples itu dan menyebabkan matinya tikus. Ia kemudian menunjukkan bahwa udara
yang telah “dirusak” oleh lilin tersebut dapat “dipulihkan” oleh tumbuhan. Ia juga menunjukkan bahwa tikus
dapat tetap hidup dalam toples tertutup asalkan di dalamnya juga terdapat tumbuhan.
Pada tahun 1778, Jan Ingenhousz, dokter kerajaan Austria, mengulangi eksperimen Priestley. Ia memperlihatkan bahwa cahaya
Matahari berpengaruh pada tumbuhan sehingga dapat "memulihkan" udara
yang "rusak". Ia juga menemukan bahwa tumbuhan
juga 'mengotori udara' pada keadaan gelap sehingga ia lalu menyarankan agar
tumbuhan dikeluarkan dari rumah pada malam hari untuk mencegah kemungkinan
meracuni penghuninya.
Akhirnya pada tahun 1782, Jean Senebier, seorang pastor Perancis, menunjukkan bahwa udara yang
"dipulihkan" dan "merusak" itu adalah karbon dioksida yang
diserap oleh tumbuhan dalam fotosintesis. Tidak lama kemudian, Theodore de Saussure berhasil menunjukkan hubungan
antara hipotesis Stephen Hale dengan percobaan-percobaan
"pemulihan" udara. Ia menemukan bahwa peningkatan
massa tumbuhan bukan hanya karena penyerapan karbon dioksida, tetapi juga oleh
pemberian air. Melalui serangkaian eksperimen
inilah akhirnya para ahli berhasil menggambarkan persamaan umum dari
fotosintesis yang menghasilkan makanan (seperti glukosa).
Cornelis Van Niel menghasilkan penemuan penting yang
menjelaskan proses kimia fotosintesis. Dengan mempelajari bakteri sulfur ungu dan bakteri hijau, dia menjadi
ilmuwan pertama yang menunukkan bahwa fotosintesis merupakan reaksi redoks yang bergantung pada cahaya, yang mana hidrogen
mengurangi karbondioksida.
Robert Emerson menemukan dua reaksi cahaya dengan
menguji produktivitas Tumbuhan menggunakan cahaya dengan panjang gelombang yang
berbeda-beda. Dengan hanya cahaya merah, reaksi cahayanya dapat ditekan. Ketika
cahaya biru dan merah digabungkan, hasilnya menjadi lebih banyak. Dengan
demikian, ada dua protosistem, yang satu menyerap sampai panjang
gelombang 600 nm, yang lainnya sampai 700 nm. Yang pertama dikenal
sebagai PSII, yang kedua PSI. PSI hanya mengandung klorofil a, PAII mengandung
terutama klorofil a dan klorofil b, di antara pigmen lainnya. Ini meliputi fikobilin, yang merupakan pigmen merah dan biru pada alga merah
dan biru, serta fukoksantol untuk alga coklat dan diatom. Proses ini paling produktif ketika penyerapan
kuantanya seimbang untuk PSII dan PSI, menjamin bahwa masukan energi dari
kompleks antena terbagi antara sistem PSI dan PSII, yang pada gilirannya
menggerakan fotosintesis.
Robert Hill berpikir bahwa suatu kompleks
reaksi terdiri atas perantara ke kitokrom b6 (kini plastokinon),
yang lainnya dari kitokrom f ke satu tahap dalam mekanisme penghasilan
karbohidrat. Semua itu dihubungkan oleh plastokinon, yang memerlukan energi
untuk mengurangi kitokrom f karena itu merupakan reduktan yang baik.
Percobaan lebih lanjut yang membuktikan bahwa oksigen
berkembang pada fotosintesis Tumbuhan hijau dilakukan oleh Hill pada tahun 1937
dan 1939. Dia menunjukkan bahwa kloroplas terisolasi melepaskan oksigen ketika
memperleh agen pengurang tak alami seperti besi oksalat, ferisianida atau benzokinon setelah sebelumnya diterangi oleh
cahaya. Reaksi Hill adalah sebagai berikut:
6 H2O + 6 CO2
+ (cahaya, kloroplas) → C6H12O6 + 6O2
yang mana A
adalah penerima elektron. Dengan demikian, dalam penerangan, penerima elektron
terkurangi dan oksigen berkembang.
Samuel Ruben dan Martin Kamen menggunakan isotop radioaktif untuk menunjukkan bahwa oksigen
yang dilepaskan dalam fotosintesis berasal dari air.
Melvin Calvin dan Andrew Benson, bersama dengan James Bassham, menjelaskan jalur asimilasi karbon
(siklus reduksi karbon fotosintesis) pada Tumbuhan. Siklus reduksi karbon kini
dikenal sebagai siklus Calvin, yang mengabaikan kontribusi oleh
Bassham dan Benson. Banyak ilmuwan menyebut siklus ini sebagai Siklus
Calvin-Benson, Benson-Calvin, dan beberapa bahkan menyebutnya Siklus
Calvin-Benson-Bassham (atau CBB).
Ilmuwan pemenang Hadiah Nobel, Rudolph A. Marcus, berhasil menemukan fungsi dan
manfaat dari rantai pengangkutan elektron. Otto
Heinrich Warburg dan Dean Burk menemukan reaksi fotosintesis I-kuantum yang membagi
CO2, diaktifkan oleh respirasi. Louis N.M. Duysens dan Jan Amesz menemukan bahwa klorofil a menyerap satu cahaya,
mengoksidasi kitokrom f, klorofil a (dan pigmen lainnya) akan menyerap cahaya
lainnya, namun akan mengurangi kitokrom sama yang telah teroksidasi,
menunjukkan bahwa dua reaksi cahaya itu ada dalam satu rangkaian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar