Rabu, 12 November 2014

Pekembangan "Pendidikan Kewarganegaraan"


Sebagai mata pelajaran di sekolah, Pendidikan Kewarganegaraan telah mengalami perkembangan yang fluktuatif, baik dalam kemasan maupun substansinya. Hal tersebut dapat dilihat dalam substansi kurikulum PKn yang sering berubah dan tentu saja disesuaikan dengan kepentingan negara.

Secara historis, epistemologis dan pedagogis, pendidikan kewarganegaraan berkedudukan sebagai program kurikuler dimulai dengan diintroduksikannya mata pelajaranCivics dalam kurikulum SMA tahun 1962 yang berisikan materi tentang pemerintahan Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 (Dept. P&K: 1962). Pada saat itu, mata pelajaran Civicsatau kewarganegaraan, pada dasarnya berisikan pengalaman belajar yang digali dan dipilih dari disiplin ilmu sejarah, geografi, ekonomi, dan politik, pidato-pidato presiden, deklarasi hak asasi manusia, dan pengetahuan tentang Perserikatan Bangsa-Bangsa (Somantri, 1969:7). Istilah Civicstersebut secara formal tidak dijumpai dalam Kurikulum tahun 1957 maupun dalam Kurikulum tahun 1946.

Namun secara materiil dalam Kurikulum SMP dan SMA tahun 1957 terdapat mata pelajaran tata negara dan tata hukum, dan dalam kurikulum 1946 terdapat mata pelajaran pengetahuan umum yang di dalamnya memasukkan pengetahuan mengenai pemerintahan.

Kemudian dalam kurikulum tahun 1968 dan 1969 istilah civics dan Pendidikan Kewargaan Negara digunakan secara bertukar-pakai (interchangeably). Misalnya dalam Kurikulum SD 1968 digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang dipakai sebagai nama mata pelajaran, yang di dalamnya tercakup sejarah Indonesia, geografi Indonesia, dan civics (d iterjemahkan sebagai pengetahuan kewargaan negara). Dalam kurikulum SMP 1968 digunakan istilahPendidikan Kewargaan Negara yang berisikan sejarah Indonesia dan Konstitusi termasuk UUD 1945. Sedangkan dalam kurikulum SMA 1968 terdapat mata pelajaran Kewargaan Negara yang berisikan materi, terutama yang berkenaan dengan UUD 1945.

Sementara itu dalam Kurikulum SPG 1969 mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara yang isinya terutama berkenaan dengan sejarah Indonesia, konstitusi, pengetahuan kemasyarakatan dan hak asasi manusia (Dept. P&K: 1968a; 1968b; 1968c; 1969). (Winataputra, 2006 : 1). Secara umum mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara membahas tentang nasionalisme, patriotisme, kenegaraan, etika, agama dan kebudayaan (Somantri, 2001:298)
Pada Kurikulum tahun 1975 istilah Pendidikan Kewargaan Negara diubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang berisikan materi Pancasila sebagaimana diuraikan dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau P4. Perubahan ini sejalan dengan missi pendidikan yang diamanatkan oleh Tap. MPR II/MPR/1973.

Mata pelajaran PMP ini merupakan mata pelajaran wajib untuk SD, SMP, SMA, SPG dan Sekolah Kejuruan. Mata pelajaran PMP ini terus dipertahankan baik istilah maupun isinya sampai dengan berlakunya Kurikulum 1984 yang pada dasarnya merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 1975 (Depdikbud: 1975 a, b, c dan 1976). Pendidikan Moral Pancasila (PMP) pada masa itu  berorientasi pada value inculcation dengan muatan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 (Winataputra dan Budimansyah, 2007:97)

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistim Pendidikan Nasional yang menggariskan adanya muatan kurikulum Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan, sebagai bahan kajian wajib kurikulum semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan (Pasal 39), Kurikulum Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah tahun 1994 mengakomodasikan misi baru pendidikan tersebut dengan memperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan atau PPKn. Berbeda dengan kurikulum sebelumnya, Kurikulum PPKn 1994 mengorganisasikan materi pembelajarannya bukan atas dasar rumusan butir-butir nilai P4, tetapi atas dasar konsep nilai yang disaripatikan dari P4 dan sumber resmi lainnya yang ditata dengan menggunakan pendekatan spiral meluas atau spiral of concept development(Taba,1967). Pendekatan ini mengartikulasikan sila-sila Pancasila dengan jabaran nilainya untuk setiap jenjang pendidikan dan kelas serta catur wulan dalam setiap kelas.

 Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) pada masa ini karakteristiknya didominasi oleh proses value incucation  dan  knowledge dissemination. Hal tersebut dapat lihat dari materi pembelajarannya yang dikembangkan berdasarkan butir-butir setiap sila Pancasila.

Tujuan pembelajarannya pun diarahkan untuk menanamkan sikap dan prilaku yang beradasarkan nilai-nilai Pancasila serta untuk mengembangkan pengetahuan dan kemampuan untuk memahami, menghayati dan meyakini nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman dalam berprilaku sehari-hari (Winataputra dan Budimansyah, 2007:97).

Dengan dberlakukannya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003, diberlakukan kurikulum yang dikenal dengan nama Kurikulum berbasis Kompetensi tahun 2004 dimana Pendidikan Kewarganegaraan berubah nama menjadi Kewarganegaraan. Tahun 2006 namanya berubah kembali menjadi Pendidikan Kewarganegaraan, dimana secara substansi tidak terdapat perubahan yang berarti, hanya kewenangan pengembangan kurikulum yang diserahkan pada masing-masing satuan pendidikan, maka kurikulum tahun 2006 ini dikenal denganKurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

Berbagai perubahan yang dialami dalam pengimplementasian PKn sebagaimana diuraikan diatas menunjukkan telah terjadinya ketidakajekan dalam kerangka berpikir, yang sekaligus mencerminkan telah terjadinya krisis konseptual, yang berdampak pada terjadinya krisis operasional kurikuler.

Secara Konseptual istilah Pendidikan Kewarganegaraan dapat terangkum sebagai berikut :
(a)    Kewarganegaraan (1956)
(b)   Civics (1959)
(c)    Kewarganegaraan (1962)
(d)   Pendidikan Kewarganegaraan (1968)
(e)    Pendidikan Moral Pancasila (1975)
(f)    Pendidikan Pancasila Kewarganegaraan (1994)
(g)   Pendidikan Kewarganegaraan (UU No. 20 Tahun 2003)
Dari penggunaan istilah  tersebut sangat terlihat jelas ketidakajegannya dalam mengorganisir pendidikan kewarganegaraan, yang berakibat pada krisis operasional, dimana terjadinya perubahan konteks dan format pendidikannya. Menurut Kuhn (1970) krisis yang bersifat konseptual tersebut tercermin dalam ketidakajekan konsep atau istilah yang digunakan untuk pelajaran PKn. Krisis operasional tercermin terjadinya perubahan isi dan format buku pelajaran, penataran yang tidak artikulatif, dan fenomena kelas yang belum banyak dari penekanan pada proses kognitif memorisasi fakta dan konsep.

Kedua jenis krisis tersebut terjadi karena memang sekolah masih tetap diperlakukan sebagai socio-political institution, dan masih belum efektifnya pelaksanaan metode pembelajaran secara konseptual, karena belum adanya suatu paradigma pendidikan kewarganegaraan yang secara ajeg diterima dan dipakai secara nasional sebagai rujukan konseptual dan operasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar