Faktor penentu laju fotosintesis
Proses fotosintesis dipengaruhi beberapa faktor yaitu faktor yang dapat memengaruhi secara langsung
seperti kondisi lingkungan maupun faktor yang tidak memengaruhi secara langsung
seperti terganggunya beberapa fungsi organ yang penting bagi proses fotosintesis.[1] Proses fotosintesis sebenarnya peka
terhadap beberapa kondisi lingkungan meliputi kehadiran cahaya Matahari, suhu lingkungan, konsentrasi karbondioksida (CO2).[1] Faktor lingkungan tersebut dikenal
juga sebagai faktor pembatas dan berpengaruh secara langsung bagi laju
fotosintesis.[61]
Faktor pembatas tersebut dapat mencegah laju
fotosintesis mencapai kondisi optimum meskipun kondisi lain untuk fotosintesis telah
ditingkatkan, inilah sebabnya faktor-faktor pembatas tersebut sangat
memengaruhi laju fotosintesis yaitu dengan mengendalikan laju optimum
fotosintesis.[61] Selain itu, faktor-faktor seperti translokasi karbohidrat, umur daun, serta ketersediaan nutrisi memengaruhi fungsi organ yang penting pada fotosintesis sehingga secara tidak
langsung ikut memengaruhi laju fotosintesis.[62]
- Intensitas cahaya. Laju fotosintesis maksimum ketika banyak cahaya.
- Konsentrasi karbon dioksida. Semakin banyak karbon dioksida di udara, makin banyak jumlah bahan yang dapt digunakan tumbuhan untuk melangsungkan fotosintesis.
- Suhu. Enzim-enzim yang bekerja dalam proses fotosintesis hanya dapat bekerja pada suhu optimalnya. Umumnya laju fotosintensis meningkat seiring dengan meningkatnya suhu hingga batas toleransi enzim.
- Kadar air. Kekurangan air atau kekeringan menyebabkan stomata menutup, menghambat penyerapan karbon dioksida sehingga mengurangi laju fotosintesis.
- Kadar fotosintat (hasil fotosintesis). Jika kadar fotosintat seperti karbohidrat berkurang, laju fotosintesis akan naik. Bila kadar fotosintat bertambah atau bahkan sampai jenuh, laju fotosintesis akan berkurang.
- Tahap pertumbuhan. Penelitian menunjukkan bahwa laju fotosintesis jauh lebih tinggi pada tumbuhan yang sedang berkecambah ketimbang tumbuhan dewasa. Hal ini mungkin dikarenakan tumbuhan berkecambah memerlukan lebih banyak energi dan makanan untuk tumbuh.
Intensitas cahaya (pancaran), panjang gelombang dan
suhu
Pada awal abad ke-120, Frederick Frost Blackman bersama dengan Albert Einstein menyelidiki pengaruh intensitas
cahaya (pemancaran) dan suhu terhadap tingkat
asimilasi karbon.
- Pada suhu tetap, tingkat asimilasi karbon beragam dengan pemancaran, pada awalnya meningkat seiring peningkatan pemancaran. Akan tetapi, pada tingkat pemancaran yang lebih tinggi, hubungan ini tidak berlangsung lama dan tingkat asimilasi karbon menjadi konstan.
- Pada pemancaran tetap, tingkat asimilasi karbon meningkat seiring suhu meningkat pada cakupan terbatas. Pengaruh ini dapat dilihat hanya pada tingkat pemancaran yang tinggi. Pada pemancaran yang rendah, peningkatan suhu hanya memberikan sedikit pengaruh terhadap tingkat asimilasi karbon.
Dua eksperimen ini menggambarkan poin penting:
Pertama, dari penelitian ini diketahui bahwa, secara umum,
reaksi fotokimia tidak dipengaruhi oleh suhu. Akan tetapi, percobaan ini menunjukkan dengan jelas
bahwa suhu mempengaruhi tingkat asimilasi karbon, jadi pasti ada dua rangkaian
reaksi pada proses lengkap asimilasi karbon. Ini adalah tahap 'fotokimia' bergantung
cahaya dan tahap bergantung suhu tapi tak bergantung udara. Yang kedua, percobaan Blackman
menunjukkan konsep faktor pembatas. Faktor pembatas lainnya adalah
panjang gelombang cahaya. Cyanobacteria, yang hidup beberapa meter di bawah
tanah tidak dapat memperoleh panjang gelombang yang tepat yang diperlukan untuk
menghasilkan pemisahan bertenaga fotoinduksi pada pigmen fotosintesis
konvensional. Untuk mengatasi permasalahan ini, serangkaian protein dengan
pigmen-pigmen berbeda mengelilingi pusat reaksi. Unit ini disebut fikobilisome.
Tingkat karbondioksi dan fotorespirasi
Ketika konsentrasi karbondioksi meningkat, tingkat
yang mana gula dihasilkan oleh reaksi bergantung cahaya meningkat hingga dibatasi oleh
faktor-faktor lainnya. RuBisCO, enzim yang mengkat karbondioksida pada reaksi gelap,
memiliki afinitas pengikatan untuk karbon dan oksigen. Ketika konsentrasi
karbondioksida tinggi, RuBisCO akan memfiksasi karbondioksida. Akan tetapi, jika konsentrasi
karbondioksida rendah, RuBisCO akan mengikat oksigen dan bukan karbondioksida.
Proses ini, yang dsiebut fotorespirasi, menggunakan energi, tapi tidak
menghasilkan gula.
Aktivitas
oksigenase RuBisCO tidak menguntungkan bagi Tumbuhan karena beberapa alasan
berikut:
- Salah satu produk aktivitas oksigenasi adalah fosfoglikolat (2 karbon) dan bukannya 3-fosfogliserat (3 karbon). Fosfoglikolat tidak dapat dimetabolisme oleh siklus Calvin-Benson dan menunjukkan karbon yang hilang dari sklus tersebut. Aktivitas oksigenasi yang tinggi, dengan demikian, menguras gula yang diperlukan untuk mengolah kembali ribulose 5-bisfosfat dan untuk keberlangsungan siklus Calvin-Benson.
- Fosfoglikolat dimetabolisme dengan cepat menjadi glikolat yang beracun bagi Tumbuhan pada konsentrasi yang tinggi. Ini menghambat fotosintesis.
- Menyimpan Glikolat secara energi merupakan proses yang mahal yang menggunakan jalur glikolat, dan hanya 75% dari karbon yang dikembalikan pada siklus Calvin-Benson sebagai 3-fosfogliserat. Reaksi ini juga menghasilkan ammonia (NH3), yang dapat berdifusi keluar dari Tumbuhan, berujung pada hilangnya nitrogen.
Ringkasan sederhananya adalah
sebagai berikut:
2 glikolat + ATP → 3-fosfogliserat +
karbondioksida + ADP + NH3
Penggunaan jalur untuk produk dari aktivitas
oksigenase RuBisCO oxygenase lebih dikenal sebagai fotorespirasi, karena dicirikan dengan konsumsi
oksigen bergantung pada cahaya dan pelepasan karbondioksida.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar